Filosofi nama Tjibadak itu berangkat dari nama cai badag dalam bahasa Sunda, alias air yang besar dalam bahasa Indonesia. Namun, ada pula sumber yang menyebut penamaan Cibadak berasal dari kondisi di kawasan ini yang dulunya dihuni badak.
Anugerah Gedong Cai Tjibadak tercermin dari limpahan air yang banyak. Saat itu, Gedong Cai Tjibadak menghasilkan debit air 50 liter per detik.
Pada perjalanannya, Gedong Cai Tjibadak terus menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Kota Bandung. Waktu silih berganti, hingga memasuki dekade 2010-an, debit air di Gedong Cai Tjibadak menyusut cukup jauh, hingga 18 liter per detik.
Di tengah proses dan dinamika yang terjadi, masyarakat bersama pemerintah menggalakan berbagai konservasi alam untuk mengembalikan debit air dari Gedong Cai Tjibadak.
Baca juga : Sekda Jabar Herman Suryatman Ingatkan ASN Komitmen Target Percepatan Pembangunan
Hasilnya, debit air yang sempat menyentuh angka 18 liter per detik itu, kini berangsur naik di angka 22 liter per detik. Tentu, perlu waktu untuk mengembalikannya ke angka semula, sebaad lalu.
Selain sebagai sumber air, Gedong Cai Tjibadak juga merupakan salah satu destinasi wisata baru di Kota Bandung. Sejak era pandemi, pesona kawasan ini memantik sejumlah pegiat wisata untuk berkunjung.
Gedong Cai Tjibadak juga dikelola oleh sejumlah kelompok masyarakat. Berdasarkan informasi terakhir yang dapat ditelusur, Komunitas Cinta Alam Indonesia (CAI) tercatat aktif menggelar sejumlah kegiatan di sini.
Pengurus dari komunitas ini juga kabarnya biasa mendampingi para pengunjung yang ingin mengetahui sejarah Gedong Cai Tjibadak. Tak jarang juga, pengunjung yang datang itu diajak berkeliling ke anak-anak sungai di sekitar.
Bac juga : Demi Perubahan dan Kemajuan Kabupaten Kuningan dr. Deni Wirhana Siap Maju Jadi Bupati Kuningan
Bagi kamu yang baru tahu informasi ini, tak ada salahnya berkunjung ke sana. Sambil main, kita belajar sejarah Kota Bandung.